Dekonstruksi Paradigma Berpikir Generasi Muda dalam Rangka Menyambut Indonesia Emas 2045
Gagasan Indonesia Emas 2045 menjadi sebuah
angan yang perlu untuk direalisasikan. Gagasan Indonesia emas 2045 merupakan
momentum sejarah dimana Indonesia sudah berumur genap satu abad. Dalam momentum
tersebut diharapkan Indonesia sudah menjadi negara yang mapan dan maju[1]. Cita-cita mulia ini merupakan sebuah refleksi
kritis setelah menengok perjalanan panjang bangsa Indonesia. Mulai dari tertatih-tatih
melawan penjajahan, menuai kemerdekaan hingga upaya mempertahankannya. Siklus
perjalanan tersebut bukanlah waktu yang sebentar untuk disepelekan. Banyak
catatan kritis yang dituliskan menemani sejarah panjang bangsa Indonesia. Catatan-catatan
kritis tersebut menjadi bahan yang bisa diramu untuk menunjang majunya
peradaban.
Menuju angka 100 tahunnya Indonesia masih
memerlukan waktu sekitar dua puluh tahun lebih. Dalam kurung waktu tersebut
perlu diupayakan program untuk mempersiapkan diri. Periode keemasan Indonesia
cukuplah ditandai dengan munculnya peradaban yang adil dan makmur. Kesejahteraan,
keadilan, dan kemajuan menjadi aspek utama yang perlu digapai. Untuk menggapai
aspek tersebut tentu butuh persiapan yang matang. Evaluasi besar-besaran harus
segera diterapkan supaya ada titik terang untuk menatap keemasan Indonesia.
Prosesi evaluasi ini adalah ajang mawas diri atau peratapan atas kesalahan.
Dari sinilah kemajuan peradaban akan semakin nyata terjadi. Seperti yang
diungkapkan oleh Freud bahwa kemajuan peradaban tidak lepas dari
penyesalan-penyesalan.[2]
Konsentrasi penuh tentu kini tertuju pada
generasi muda Indonesia yang nantinya akan menjadi pelaku sejarah di tahun
2045. Oleh karena itu, penguatan kapasitas dan penambahan kualitas generasi
muda menjadi sangat penting dilakukan. Pemuda hari ini adalah ujung tombak dari
gagasan Indonesia emas 2045. Pembangunan atau investasi yang nyata bagi
keemasan Indonesia adalah menciptakan pemuda yang unggul. Akan tetapi melihat
generasi muda hari ini yang dirasa cukup keawalahan dalam menlawan persoalan
zaman menjadikan tantangan tersendiri. Budaya hedonisme, konsumerisme, narsisme
menjangkiti pemuda hari ini. Mereka seakan-akan terlucuti jati dirinya. Moralitas
yang carut marut juga menjadi persoalan serius yang harus dijawab dengan cepat.
Draf inventaris masalah ini bukan sebuah hal sederhana untuk diremehkan. Namun,
persoalan tersebut harus segera diselesaikan sebagai persiapan mengorbitkan
pemuda sebagai pembangun peradaban emas Indonesia.
Kebuntuan jangan sampai memutus gagasan yang
sudah terekspos sebagai angan-angan biasa. Persoalan pemuda harus dipecahkan
sesegera mungkin. Upaya yang nyata adalah perombakan nalar berpikir pemuda dari
pragmatis menjadi kritis-transformatif. Perlunya pola pikir yang sehat untuk
membangun sebuah peradaban. Pola pikir yang sehat akan mendorong munculnya
pemikiran-pemikiran yang briliant. Pemikiran yang mampu dijadikan senjata
melawan persoalan zaman. Suatu pemikiran juga merupakan sebuah aspeka batinian
dari majunya peradaban[3].
Beranjak dari aspek batinian yang baik berkembang baik pula aspek kebendaanya. Memang
pola pikir menjadi hal yang cukup penting bagi utuhnya sebuah peradaban. Oleh
karena itu, pemuda hari ini harus mampu menciptakan pola pikir yang berkemajuan
supaya tidak terus-terusan digerus oleh problematika zaman.
Lantas bagaimana langkah strategis yang perlu
dilakukan dalam upaya mendobrak kebekuan paradigma berpikir pemuda hari ini?
Jangan sampai pemuda kehilangan taringnya dimasa yang akan datang.
Konsepsi-konsepsi yang merekonstruksi peradaban perlu dimasak dalam
laboratorium universal. Dimana semua elemen bisa ikut andil bergotong royong
menciptkan generasi yang andal. Dalam pandangan penulis ada beberapa aspek yang
perlu ditata ulang. Aspek-aspek tersebutlah yang tentunya penting untuk bekal
menggapai keemasan indonesia.
Perombakan Terhadap Pandangan Hidup yang
Materialistik
Materialis
merupakan budaya yang kini cukup menghegemoni anak-anak muda Indonesia.
Materialis merupakan suatu pandangan hidup yang berorintasi pada kepemilikan barang
atau kekayaan material[4].
Hal tersebut sangatlah nyata adanya dalam diri tiap pemuda hari ini. Melihat
para pemuda mementingkan gaya hidup glamor sebagai bukti eksitensi mereka.
Nalar berpikirnya pun juga menjadi seorang konsumen bukan sebagai seorang
produsen. Pemuda hari ini tertuntut untuk menjadi individu yang penuh dengan
ilusi. Mereka kehilangan nilai guna yang sejatinya lebih penting dari pada
nilai eksistensi. Materialis menjadikan manusia lupa akan pentingnya kualitas
diri.
Hal
tersebut menimbulkan persoalan yang cukup rumit dan perlu dengan secepat
mungkin dirombak. Pandangan materialis yang mengakar dalam suatu bangsa akan
merusak peradaban mereka. Ibnu Khaldun seorang cendekiawan muslim juga seorang
sosiolog menyatakan bahwa, keruntuhan peradaban dimulai dari kondisi bangsanya
yang memiliki sifat materialistik[5].
Mereka mementingkan kekayaan materi dan meninggalkan pembangunan kualitas SDM.
Kekokohan peradaban bukanlah didasari oleh megah atau mewahnya tampilan fisik
suatu bangsa. Namun, didasari oleh kualitas dan kuantitas SDM yang brilian.
Oleh karena itu, pola pikir materialistik yang ada dalam tubuh pemuda harus
segera diganti dengan pola pikir yang baik. Supaya pemuda tidak kehilangan arah
dalam menjalani kehidupan kedepannya.
Penegakan Supremasi Hukum
Hukum menjadi aspek yang juga perlu untuk
diperhatikan keteguhannya. Pada dasarnya hukum bertujuan untuk menciptakan
kedamaian yang bermuara dari keserasian antara kepastian dan kesebandingan
hukum. Suatu hukum tercipta sebagai alat yang diharapkan mampu memproklamirkan
keadilan bagi tiap individu. Dalam menatap peradaban emasnya, Indonesia harus
berbenah mengenai hal ini. Kadang kala keserasian hukum tidak terjadi di ruang
sidang. Sering kali hukum menjadi sebuah tombak yang tumpul bagi para penguasa.
Namun, menjadi tombak bermata tajam bagi rakyat kecil biasa. Hal ini sangatlah
mencederai jati diri Indonesia yang secara formil memproklamirkan diri sebagai
negara hukum.
Persoalan ketimpangan hukum bukanlah perkara
sepele yang sewajarnya dibiarkan mengalir begitu saja. Perkara tersebut akan
menghambat cita-cita mulia di tahun 2045 nanti. Hukum yang lemah akan
menimbulkan produk keadilan yang cacat. Padahal hukum yang berkeadilan adalah
suatu kunci nyata bagi terwujudnya peradaban yang maju[6].
Pemuda harus paham mengenai hal ini jangan sampai mereka diam saja menanggapi
kesimpang-siuran penegakan hukum. Para kaum muda juga harus tegas dan yakin
bahwa siapapun sama dimata hukum. Tidak ada kualifikasi tertentu yang boleh
bermain diatas timbangan hukum. Pengawalan dan pengawasan penegakan hukum
adalah bagian dari peran pemuda agar jalan keadilan bisa terang.
Solidaritas Mayoriti
Persatuan bangsa Indonesia telah termuat dalam
pancasila dalam sila ketiga. Persatuan yang ditujukan untuk merangkul
kompleksitas bangsa Indonesia. Negera dengan keragaman budaya ini memerlukan
suatu upaya yang kongkrit dalam menyatukannya. Kerap kali bangsa ini masih
terpecah oleh perbedaan-perbedaan yang ada. Beberapa kasus seperti pertentangan
antar agama, ras, suku dan budaya masih terlihat oleh pelupuk mata. Polarisasi
akibat perbedaan identitas juga masih menggelora ditubuh bangsa Indonesia.
Padahal seharusnya keragaman tersebut bukanlah suatu hal yang perlu
ditentangkan. Keragaman seharusnya menjadi kekayaan yang harus dimaksimalkan
agar menjadi sebuah keharmonisan otentik[7].
Keharmonisan merupakan suatu agenda prioritas
dalam upaya menyelaraskan tujuan. Keselarasan tujuan tentu akan mendukung
cita-cita yang diharapkan yakni kemajuan peradaban. Suatu keharmonisan tentu
akan terjadi apabila pola pikir yang dibangun adalah pola pikir moderat. Pola
pikir yang menjunjung tinggi kemanfaatan bersama ketimbang kepentingan pribadi.
Konsepsi moderat menjadi solusi alternatif dalam menyatukan bangsa. Menurut
Aristoteles konsep moderat adalah sebuah kebaikan yang otentik[8].
Dalam sebuah moderasi kerukunan bangsa ini bisa terbangun secara terstruktur.
Hal inilah yang harus terus diupayakan secara maksimal oleh para generasi
penerus bangsa. Suatu peradaban tidak akan maju apabila bangsanya tidak solid
di dalam ataupun di luar. Problematika yang seharusnya bisa diselesaikan secara
gotong royong tidak bisa dicapai karena kondisi masyarakatnya yang tidak solid.
Pendidikan yang Berkarakter
Pendidikan merupakan hal terpenting bagi suatu
negara untuk membentuk anak-anak bangsa menjadi lebih baik. Pendidikan
merupakan unsur utama dalam suatu peradaban manusia. Akan tetapi, pendidikan
hari ini hanya menjadi sebuah agenda formal bagi manusia. Pendidikan malah
membuat anak bangsa menjadi seperti mekanis yag cenderung membosankan. Para
siswa tergiring untuk mempunyai nilai bagus bukan pengembangan potensi. Mahasiswa
tertunduk lesu dibawah naungan moralitas yang tidak jelas patokannya. Kaum
terpelajar sejatinya berada dalam bayang kekhawatiran yang timbul dari pendidik
mereka[9]. Pendidikan
yang seperti ini bukanlah pendidikan yang berkarakter. Hal ini malah
menggambarkan bahwa pendidikan sudah terseting untuk memenuhi kebutuhan pasar
bukan untuk kemajuan peradaban.
Pola pendidikan yang seperti itu seharusnya
direformasi menjadi pendidikan yang lebih humanis. Artinya pendidikan yang
mengedepankan karakter dan pengembangan potensi guna menunjang majunya
peradaban. Suatu peradaban akan maju bila karakter masyarakatnya terbentuk
dengan baik. Pendidikan karakterlah solusi yang nyata bagi persoalan perilaku
bangsa Indonesia. Pendidikan karakter adalah dasar dalam membentuk karakter
yang berkualitas demi terwujudnya suatu peradaban emas[10].
Karena semua aspek kehidupan akan berjalan dengan baik bila karakter
individunya baik.
Kegelisahan atas fenomena yang terjadi menajdi
penting untuk selalu dicari jalan keluarnya. Masih banyak pekerjaan rumah yang
perlu dientaskan dalam rangka menyambut momentum 100 tahun Indonesia. Banyak
persoalan yang hadir dalam diri pemuda. Perubahan paradigma berpikir guna
menopang aspek yang berkelanjutan perlu diglorifikasikan. Persoalan
materialistik, ketimpangan hukum, solidaritas, dan pendidikan adalah hantu yang
nyata. Pola pikir pemuda harus progresif guna menerobos jangkar besi tersebut.
Akal pemuda Indonesia perlu diberi ruang untuk menampung stimulus yang positif.
Supaya mereka mampu mengembangakan kreatifitas mereka sehingga mereka tidak
mengalami kejumudan.
[1] Novrizaldi, ‘Indonesia Emas 2045 Diwujudkan Oleh Generasi Muda’, Kemenko PMK (Kemenko PMK, 2022).
[2] Herbert Marcuse, Eros Dan Peradaban,
ed. by Cep Subhan KM (Yogyakarta: Utama Offset, 2018).
[3] Mudjia Rahardjo, Bahasa, Pemikiran,
Dan Peradaban : Telaah Filsafat Pengetahuan Dan Sosiolinguistik (Malang:
UIN Maliki Malang).
[4] Aftina Nurul Husna, Orientasi Hidup
Materialistis Dan Kesejahteraan Psikologis (UMM Press, 2015).
[5] Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu
Khaldun, ed. by Amarzan Lubis (Jakarta: Wali Pustaka, 2019).
[6] N. Syamsuddin, ‘Melihat Peradaban Indonesia Menghdapi Tantangan Abad 21
Perspektif Pancasila’, Jurnal Ketatanegaraan,
008 (2018).
[7] Asghar Ali Engineer, Islam Dan
Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2021).
[8] M. Amin Abdullah, Filsafat Etika
Islam (Yogyakarta: Ircisod, 2020).
[9] Eko Prasetyo, Bangkitlah Gerakan
Mahasiswa (Yogyakarta: social movement institute, 2014).
[10] Sofyan Tsauri, Pendidikan Karakter
Peluang Dalam Membangun Karakter Bangsa (Jember: IAIN Jember Press, 2015).
No comments