Kata-Kata yang Tidak di Dengar.
Ilham Faisabrun Zjamiil-
Dengan segala
karunia pemberian Tuhan, manusia akan selalu memberikan apapun ke manusia lain
bahwa dia ada, dia hadir. Manusia akan selalu membutuhkan pengakuan, mau
disadari atau tidak, pengharapan akan “aku” baik kepada manusia ataupun Tuhan
akan selalu ada. Dengan sikap pengakuan manusia akan selalu action atas segala
apa yang ia percayai.
Pengakuan bagi
manusia sangat penting karena memang sejatinya manusia ialah makhluk sosial,
makhluk yang hidup dan berdampingan dengan manusia lainya. Maka tak ayal ia
akan berfikir dan bertindak bahwa “ia” ada. Rene Descrates mengatakan cogito
ergo sum (aku berfikir maka aku ada), maksud dari kalimat ini ialah satu-satunya
keberadaan didunia ini adalah diri sendiri. Keberadaan ini dapat dibuktikan
dengan cara mereka dapat berfikir secara mandiri.
Rene Decrates
menginginkan kebenaran dengan cara meragukan keberadaan benda-benda disekitar
termasuk dirinya sendiri. Ia berfikir bahwa dengan cara meragukan keberadaan
disekitar termasuk dirinya dia akan terhindar dari fikiran-fikiran yang salah.
Descrates takut bahwa berfikir saja tak membawanya kejalan kebenaran namun
sebaliknya, ke jalan kesalahan. Memang berfikir akan mendatangkan hakikat namun
itu tidak menjamin pada jalan kebenaran.
Lalu kebenaran
menurut Al-Ghazali dibagi menjadi dua, yaitu pertama kebenaran mu’amalah,
kebenaran konkrit yang dapat dibuktikan dengan panca indra, akal. Kedua
kebenaran mukasyafah, yaitu kebenaran yang abstrak yang terdapat dalam
transenden apa adanya, dan hanya memahami pengetahuan wahyu yang dapat
menjelaskanya.
Dari kebenaran
kedua tokoh tersebut, baik dari barat dan Islam dapat ditarik kesimpulan
bahwasanya kebenaran merupakan barang yang mutlak adanya kebenaranya hakiki dan
memperlukan perjalanan dan alat yang cukup rumit untuk menemukanya. Bahkan para
pemikir akan selalu tesis-anti tesis terhadap pemikiran-pemikiran. Saling
membantah dan memperbaharui pemikiran tapi tanpa adanya ketersinggungan emosi
menjadi bukti bahwa padi semakin berisi semakin merunduk. Seseorang semakin
terisi akalnya oleh ilmu dan adab maka akan semakin tawadhu karena baginya
kebenaran yang dibawakanya benar baginya tapi tidak bagi orang lain. Bahkan dua
imam besar yang pikiranya diikuti banyak orang, Imam Hanbali dan Syafi’i mereka
ada guru dan murid. Namun saling menghargai dalam perbedaan tanpa adanya emosi
didalamnya.
namun sekarang menjumpai “padi
semakin berisi semakin merunduk” sangat susah dijumpai, kebenaran zaman
sekarang semakin gam (berantakan, antah berantah, kacau balau). Setiap orang
membawa kebenaran masing-masing dan akan merasa terusik jika kebenaranya
disinggung orang lain. Seperti halnya “Balon”, besar memang bentuknya tapi
kosong hanya penuh udara bahkan berat pun tidak, tapi ingin terbang ke udara
maka dari itu si penjual menyediakan tali dan pemberat agar balon tidak
mengudara.
Begitu pula
manusia sekarang nampak seperti balon, isi akal tak seberapa, tapi merasa besar
dan ingin mengudara agar bisa dilihat banyak orang. Tapi yang membedakan
manusia dengan balon ialah pemberat, balon ada pemberat dan tali agar tak
mengudara namun manusia tak ada pemberat yang mampu menahan ia mengudara
padahal tak ada isi sama sekali.
Pendapat yang
ingin diakui, merajuk jika tak diakui pendapatnya merupakan ciri-ciri manusia
yang bodoh, kosong, tak berakal, tak dewasa sama sekali. Tak apalah kalau ingin
di akui tapi masih selalu belajar dimanapun, mengalinis keadaan, membaca buku,
berguru. Tapi manusia-manusia yang hanya lontang lantung, membaca buku tidak, berguru
juga tidak apalagi menganalisis keadaan, tapi pengen diakui, kata-katanya ingin
di dengar. Baru membaca satu dua buku tapi sudah merasa “wah”, Tak merasa
malukah dengan mereka-mereka para pemikir, para ulama yang telah berguru dengan
banyak guru yang mashur, mengarang buku dan kitab tapi saat mereka terdapat
beda pendapat, mereka tenang-tenang saja, tak ada pertikaian sama sekali.
Karena yang membedakan kita dengan mereka ialah isi kepala.
Iya memang
manusia sekarang banyak berfikir, tapi berfikir yang tidak bermanfaat. Overthinking
tiap malam tapi tak ada hasil yang dilakukan, bukankah sungguh berbeda dengan
orang-orang zaman dahulu? Bukankah kita sama-sama manusia, sama-sama diberi
karunia akal untuk berfikir? Lalu mengapa masih terjadi kebodohan? Yang salah
alatnya (akal) atau penggunanya? Akal kita sudah terlalu tumpul, tak inginkah
untuk mengasahnya kembali?
Tulisan ini
hanya untuk pengingat bagi penulis dan kalian pembaca yang merasa tersindir.
Jika kalian merasa tersindir silahkan balas tulisan ini dengan tulisan kalian
dan mari merubah diri menjadi baik.
No comments