Robohnya Bendera-Bendera Revolusi
Oleh Muhamad Fatkhul Huda
Banyak orang yang melihat kehidupan dewasa ini
begitu menjijikan dan hina. Penyimpangan, kerusakan, penindasan tumbuh tanpa
ada hambatan. Hal keji itu dengan leluasa menjamur di berbagai penjuru bumi. Namun, Tidak banyak orang yang mau bergerak
untuk melawannya. Kebanyakan orang hanya diam dan mengikuti arus yang membawa
pergi menuju muara itu. Mungkin saja mereka kurang menyadari bahwa ada sesuatu
yang sedang menggerus dunianya. Model eksploitasi hari ini tidak
terang-terangan tapi halus dan menusuk ke dalam akarnya. Dibalut dengan
rias-rias yang menarik hingga banyak yang tidak sadar akan hal itu.
Suatu hal yang menarik adalah bagaimana
framing industri pada dunia karyawannya. Dalam sebuah tulisan yang berjudul “Perawan
Pabrik dan Harga Keringatnya” Moeslim abdurrahman mencoba menggambarkan
bagaimana industri memanupulasi kebutuhan. Para pekerja perempuan digiring
untuk merawat kencantikannya. Hal ini dibuat agar dikira bahwa bekerja di
pabrik bisa membantuk untuk tetap cantik dan hidup lebih enak.(Abdurrahman,
2003) Dengan demikian, banyak gadis desa yang minat
untuk bekerja di pabrik-pabrik karena terframing oleh itu. Anak gadis merasa
ketika bekerja di pabrik mereka akan bisa mendapatkan kenikmatan hidup. Strategi
yang demikian cukup lazim digunakan oleh industri modern. Perputaran ekonomi
akan terus berjalan ketika produksi dan konsumen bisa berjalan senada.
Contoh mengenai framing industri diatas masih
termasuk dalam sebagian kecil problema yang terjadi saat ini. Ada kerusakan
lingkungan, ketimpangan sosial, kekeringan moral yang senantiasa memperluas
lahan jajahan. Lalu apakah dehumanisasi yang dilakukan oleh industri menjadi
kewajaran yang sudah sepantasnya dibiarkan? Apakah problematika itu menjadi
suatu kemustahilan untuk dirobohkan? Pertanyaan tersebut tentu memiliki dua
jawaban yakni bisa dan tidak.
Tidak, arus ekonomi industri modern tidak akan
pernah bisa diruntuhkan karena yang dilawan adalah para kapital. Melawan kapital
sama saja dengan memperkeruh kehidupan. Kebutuhan hidup mudah tercukupi ketika
bersama para pemodal. Industri kapital yang menyokong dehumanisasi telah
merekayasa kehidupan semenarik mungkin. Para buruh tidak akan berani melawan hegemoni
pabrik karena dari pabrik itu mereka mencukupi kebutuhan.(Hendragunawan, 2021) Pembukaan lahan yang menggerus alam akan
diwajarkan karena kebutuhan manusia semakin kompleks. Ditambah berbagai
iming-iming yang dikatakan bisa mengentaskan kemiskinan. Investasi yang diharapkan
mampu menambah lapangan kerja sehingga kemiskinan sedikit demi sedikit bisa
dikurangi. Sebenarnya pola itu adalah sistem perputaran yang didasarkan pada
keserakahan. Kapital berambisi untuk memperoleh banyak keuntungan. Sedangkan kaum
marjinal membutuhkah ruang untuk mencari kebutuhan. Kedua persolan tersebut
akan saling menambal satu sama lain. Namun, dengan bertemunya kedua hal
tersebut ada alam dan sikap kemanusiaan yang harus dikorbankan.
Persoalan tersebut sekiranya tidak akan mudah
menghantarkan peradaban modern pada transformasi sosial. Maka dari itu, banyak
orang yang mengidam-idamkan revolusi harus meninggalkan bendera revolusinya di
tengah padang yang tandus. Pesimisme memenuhi otak mereka karena realitas yang
carut-marut. Mentalitas manusia industri sudah kering kerontang, mereka lemas
karena dehadrasi spiritual dan intelektual. Lalu apa yang sekirannya bisa
menjawab bisa pertanyaan awal diatas.
Romantisme sejarah memunculkan dua peristiwa
yang bisa diteladani. Revolusi peradaban Mekkah dan Kemerdekaan Indonesia. Dua
peristiwa ini setidaknya memberikan optimisme yang cukup bagi para
revolusioner. Mekkah dengan berbagai macam persoalan mampu dirombak menjadi
negara berkeadaban. Kegigihan, Kecerdasan, Keikhlasan, siraman spiritual dan
intelktual yang dibawa oleh Rasulullah SAW mendekonstruksi Mekkah waktu itu. Problematika
yang dihadapi sama yakni dehumanisasi. Kapitalisme, feodalisme, perbudakan,
kemiskinan terjadi di Mekkah waktu itu(Kuntowijoyo,
2007). Namun, Rasulullah berhasil mengubah keadaan
itu menjadi lebih baik. Sama halnya dengan kemerdekaan Indonesia yang tentunya
juga merupakan pencapaian penting atas perlawan terhadap kolonialisme,
kemiskinan, ketimpangan sosial.
Kedua hal itu bisa terbangun atas mentalitas
dan keyakinan yang kuat terhadap adanya perubahan sosial. Misal kaum muslim pada
waktu itu berbondong-bondong untuk ikut perang dengan tujuan menerima kemulian
jihad di jalan Allah. Kalau dalam konteks perjuangan kemerdekaan ada keyakinan dari
pejuang agar kelak anak cucu mereka tidak terjajah. Para pejuang mengorbankan
dirinya untuk memberikan masa depan yang gemilang. Kaum muslim berkorban agar
peradaban manusia menjadi lebih mulia dengan adanya kemenangan Islam. Kedua hal
itu merupakan mentalitas yang kini sirna dari dalam diri masyarakat industri. Ketika
sudah melihat dua revolusi yang berhasil muncullah pertanyaan baru. Apakah mentalitas
itu bisa hadir dalam diri manusia modern? Mentalitas yang mau menghibahkan
dirinya untuk kehidupan yang lebih beradab. Jika belum ada keberanian maka
jawaban atas revolusi adalah mustahil.
Jangan sekali-sekali menggaungkan revolusi
kalau tidak siap mental dan bekalnya. Akibatnya akan sangat fatal, bukan
menjadi lebih baik tapi malah menjadi keruh. Revolusi bukan permainan uno yang
bisa diubah-ubah warnanya. Revolusi adalah upaya menuju kemapanan dengan
instrumen yang lengkap. Ketika mentalitas dan instrumen tidak memadai maka
robohlah bendera-bendera revolusi itu. Bendera itu terkikis oleh kebengisan,
keserakahan, ambisi, dan kecacatan moral.
No comments